Ponpes Roudhatul Qur’an Annasimiyyah

SEJARAH SINGKAT PONPES RAUDHATUL QUR’AN ANNASIMIYYAH

Proses pendidikan generasi muslim Indonesia tidaklah cukup dibebankan kepada sekolah-sekolah umum, tetapi proses pendidikan mereka dapat dilaksanakan di Pondok-Pondok Pesantren yang dikelola dengan baik...

K.H. Hanief Ismail Lc.

K.H. Hanif Ismail Lc.

KH. Hanief Ismail, LC Merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Roudlotul Qur'an Annasimiyyah, beliau lahir di Semarang tanggal 15 Agustus 1953

TPA PPRQA

Profile TPQ

TPQ RAUDHATUL QUR’AN ANNASIMIYYAH berdiri pada 15 Agustus 2009 Taman Pendidikan Al-Qur'an ini didirikan oleh KH. Hanief Isma‘il, Lc.

Ziarah Malam Sabtu  Legi

Ziarah Malam Sabtu Legi

Ziarah malam Sabtu Legi merupakan agenda rutin di Ponpes Raudlotul Qur’an Annasimiyyah selain bulan Ramadhan .

Kamis, 24 Januari 2013

Istana “Gitu Aja Kok Repot” Ala Gus Dur

Pergantian rezim dari orde baru ke reformasi menimbulkan perubahan yang fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem perpolitikan lebih terbuka setelah sebelumnya mendapat represi yang hebat dari rezim otoriter. Euphoria demokrasi menggema mengawali dimulainya reformasi. Pemilu diselenggarakan dengan jumlah partisipasi yang meningkat dari 3 partai menjadi 48. Sejumlah harapan reformasi tampaknya akan segera terwujud. Sosok pemimpin baru yang mampu membawa perubahan bangsa sangat dinantikan. Sejumlah tokoh mengemuka dalam konstelasi politik nasional. Diantaranya adalah mereka yang tergabung dalam deklarator Ciganjur. Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, Sulatan Hamengku Buwono IX, dan KH Abdurrahman Wahid. Takdir memilih nama yang terakhir, KH Abdurrahman Wahid atau yang sering disebut Gus Dur untuk mengemban amanat reformasi. Sidang Paripurna DPR mengangkat KH Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI yang ke- 4.
Terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden dianggap sebagian kalangan sebagai angin perubahan yang membawa kebaikan untuk iklim demokrasi. Khalayak tidak ragu komitmen dan konsistensi Gus Dur dalam memperjuangkan HAM dan demokrasi. Dimanapun aktfitas Gus Dur selama ini dilandasi dengan prinsip-prinsip yang diyakininya yang bersumber pada humanisme, kemanusiaan. Bahkan disaat beliau memimpin ormas Islam terbesar di Indonesia, PBNU. Meskipun tidak jarang ucapan dan tindakannya mengundang kontroversi. Sebagai politisi Gus Dur juga dikenal sebagai politisi ulung. Manuver politk yang dipertontonkan selayaknya akrobatik yang seringkali tidak dipahami oleh kawan maupun lawan. Hal yang sama dilakukan Gus Dur setelah menjadi presiden, nyaris tidak ada yang berubah. Gus Dur masih saja dengan gaya komunikasi politik nya yang khas “gitu aja kok repot”. Tindakan dan kebijakan yang dibuat pun menimbulkan polemik dimasyarakat. Seperti keputusannya untuk tinggal di Istama dengan memboyong keluarga. Akses masuk istana dibuka lebar, bertemu presiden lebih mudah dengan dibubarkannya Litsus. Istana tidak luput dari sentuhan gaya Gus Dur yang humanis yang kemudian sabagian kalangan menganggap telah terjadi desakralisasi Istana.
Desakralisasi Istana yang berlangsung selama masa Presiden Abdurrahman Wahid tidaklah kemudian mendistorsi sakralitas istana sebagai bagian dari lambing Negara. Asty Kleistenburg menyebut era Gus Dur sebagai “biarinisme” Istana. Namun yang sebenarnya terjadi adalah humanisasi istana dan deformalisasi istana. Pengaruh sosok Gus Dur yang kuat berdampak pada pemakanaan dan konsepsinya Istana. Hal ini tidak bisa disamakan dengan pemaknaan Istana yang dilakukan oleh Soeharto sebelumnya. Etika jawa yang menjiwai kepimpinan Soeharto turut menentukan pemaknaan Istana yang dikonstruksinya. Istana baginya adalah kerajaan yang memang selayaknya dijaga sakralitasnya. Latar belakang militer membuat Soeharto begitu ketat menjalankan protokoler dan aturan-aturan istana lainnya.
Berbeda dengan Gus Dur, yang tidak memiliki pengalaman birokrat. Gus Dur cenderung mengabaikan aturan yang membelenggu. Greg Barton dalam sebuah kesempatan menyatakan bahwa Gus Dur tidak cocok sebagai pejabat publik. Seorang presiden yang ekosentrik, meremehkan protokoler dan tidak suka dengan administrasi. Memang yang kemudian terjadi adalah protokoler yang akomodatif. Aturan-aturan yang sebelumnya begitu straight dan ketat disesuaikan dengan gaya Gus Dur. Wahyu Muryadi sang kepala protokoler istana tidak setuju kalau kemudian aturan protoker tidak berjalan. Namun dia juga tidak mengelak bahwa telah terjadi penyesuaian dan kelonggaran, protokoler lebih fleksibel sesuai kebutuhan. Sementara itu keluarga menyadari sepenuhnya baik Gus Dur maupun keluarga tidak bisa menjalankan aturan secara penuh. Baik Alissa maupun Inayah, keduanya menyatakan pada akhirnya pihak Istana yang menyesuaikan dengan ritme dan pemaknaaan Istana yang dilakukan Gus Dur. Prokoler yang merupakan instrument langsung yang bersinggungan dengan keseharian Istana mengalami perubahan yang signifikan.
Selain protokoler, salah satu dimensi yang mengalami perubahan adalah relasi dan interaksi yang terjadi di Istana. Telah terjadi dehumanisasi, istana lebih hidup dari sebelumnya. Interaksi Gus Dur dengan orang dilingkungan Istana sangat cair. Tidak nampak hubungan patron klien, tapi yang menonjol adalah egaliterisme Gus Dur. Wimar Witoelar, salah satu jubir kepresidena menggap hubungannya selama ini dengan Gus Dur lebih seperti seorang teman. Jauh dari kesan formal dan kaku. Juru bicara yang lainnya, Yahya Staquf merasa selama bekerja dengan Gus Dur seperti ngaji. Bahkan sebagai jubir tidak pernah ada briefing ataupun rapat terkait kewenangannya sebagai Jubir. Selam di Istana Gus Dur juga membiasakan pola hubungan yang cair. Kepada paspampres ataupun staff protokol lainnya mengalami sentuhan humanisme Gus Dur. Mereka dibiasakan untuk ngobrol santai bahkan bercanda.
Namun demikian sebagai komunikator politik, tentunya ada pesan politik yang hendak disampaikan dalam setiap tindakannya, termasuk soal desakralisasi istana. Istana dipergunakan Gus Dur sebagai media politik untuk menyampaikan pesan politiknya. Terlepas itu kemudian dianggap desakralisasi, yang jelas Gus Dur telah melakukan reinterpretasi terhadap pemaknaan istana. Gus Dur telah melakukan reduksi terhadap sakralitas Istana. Melalui gaya dan tindakannya yang cenderung mengabaikan aturan, Gus Dur telah menggeser sakralitas Istana yang selama ini dikonstruksikan oleh orde baru dalam konsep jawa. Disengaja ataupun tidak, proyek desakralisasi Istana yang dipraktikan Gus Dur telah mampu mengubah wajah Istana. Istana menjadi lebih humanis, dekat dengan rakyat, jauh dari kesan angker dan sakral. Dengan demikian efek politik yang dikehendaki Gus Dur melalui tindakan dan kebijakannya sebagai bagian dari pesan politiknya sangat berhasil. Sebagai bagian dari khalayak penerima pesan, sejumlah informan mengakui baik eksplisit maupun implisit telah terjadi proses desakralisasi istana selama kepemimpinan Gus Dur.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More