Pergantian rezim dari orde baru ke
reformasi menimbulkan perubahan yang fundamental dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sistem perpolitikan lebih terbuka setelah
sebelumnya mendapat represi yang hebat dari rezim otoriter. Euphoria
demokrasi menggema mengawali dimulainya reformasi. Pemilu
diselenggarakan dengan jumlah partisipasi yang meningkat dari 3
partai menjadi 48. Sejumlah harapan reformasi tampaknya akan segera
terwujud. Sosok pemimpin baru yang mampu membawa perubahan bangsa
sangat dinantikan. Sejumlah tokoh mengemuka dalam konstelasi politik
nasional. Diantaranya adalah mereka yang tergabung dalam deklarator
Ciganjur. Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, Sulatan Hamengku Buwono
IX, dan KH Abdurrahman Wahid. Takdir memilih nama yang terakhir, KH
Abdurrahman Wahid atau yang sering disebut Gus Dur untuk mengemban
amanat reformasi. Sidang Paripurna DPR mengangkat KH Abdurrahman
Wahid sebagai presiden RI yang ke- 4.
Terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden
dianggap sebagian kalangan sebagai angin perubahan yang membawa
kebaikan untuk iklim demokrasi. Khalayak tidak ragu komitmen dan
konsistensi Gus Dur dalam memperjuangkan HAM dan demokrasi. Dimanapun
aktfitas Gus Dur selama ini dilandasi dengan prinsip-prinsip yang
diyakininya yang bersumber pada humanisme, kemanusiaan. Bahkan disaat
beliau memimpin ormas Islam terbesar di Indonesia, PBNU. Meskipun
tidak jarang ucapan dan tindakannya mengundang kontroversi. Sebagai
politisi Gus Dur juga dikenal sebagai politisi ulung. Manuver politk
yang dipertontonkan selayaknya akrobatik yang seringkali tidak
dipahami oleh kawan maupun lawan. Hal yang sama dilakukan Gus Dur
setelah menjadi presiden, nyaris tidak ada yang berubah. Gus Dur
masih saja dengan gaya komunikasi politik nya yang khas “gitu aja
kok repot”. Tindakan dan kebijakan yang dibuat pun menimbulkan
polemik dimasyarakat. Seperti keputusannya untuk tinggal di Istama
dengan memboyong keluarga. Akses masuk istana dibuka lebar, bertemu
presiden lebih mudah dengan dibubarkannya Litsus. Istana tidak luput
dari sentuhan gaya Gus Dur yang humanis yang kemudian sabagian
kalangan menganggap telah terjadi desakralisasi Istana.
Desakralisasi Istana yang
berlangsung selama masa Presiden Abdurrahman Wahid tidaklah kemudian
mendistorsi sakralitas istana sebagai bagian dari lambing Negara.
Asty Kleistenburg menyebut era Gus Dur sebagai “biarinisme”
Istana. Namun yang sebenarnya terjadi adalah humanisasi istana dan
deformalisasi istana. Pengaruh sosok Gus Dur yang kuat berdampak pada
pemakanaan dan konsepsinya Istana. Hal ini tidak bisa disamakan
dengan pemaknaan Istana yang dilakukan oleh Soeharto sebelumnya.
Etika jawa yang menjiwai kepimpinan Soeharto turut menentukan
pemaknaan Istana yang dikonstruksinya. Istana baginya adalah kerajaan
yang memang selayaknya dijaga sakralitasnya. Latar belakang militer
membuat Soeharto begitu ketat menjalankan protokoler dan
aturan-aturan istana lainnya.
Berbeda dengan Gus Dur, yang tidak
memiliki pengalaman birokrat. Gus Dur cenderung mengabaikan aturan
yang membelenggu. Greg Barton dalam sebuah kesempatan menyatakan
bahwa Gus Dur tidak cocok sebagai pejabat publik. Seorang presiden
yang ekosentrik, meremehkan protokoler dan tidak suka dengan
administrasi. Memang yang kemudian terjadi adalah protokoler yang
akomodatif. Aturan-aturan yang sebelumnya begitu straight
dan ketat
disesuaikan dengan gaya Gus Dur. Wahyu Muryadi sang kepala protokoler
istana tidak setuju kalau kemudian aturan protoker tidak berjalan.
Namun dia juga tidak mengelak bahwa telah terjadi penyesuaian dan
kelonggaran, protokoler lebih fleksibel sesuai kebutuhan. Sementara
itu keluarga menyadari sepenuhnya baik Gus Dur maupun keluarga tidak
bisa menjalankan aturan secara penuh. Baik Alissa maupun Inayah,
keduanya menyatakan pada akhirnya pihak Istana yang menyesuaikan
dengan ritme dan pemaknaaan Istana yang dilakukan Gus Dur. Prokoler
yang merupakan instrument langsung yang bersinggungan dengan
keseharian Istana mengalami perubahan yang signifikan.
Selain protokoler, salah satu
dimensi yang mengalami perubahan adalah relasi dan interaksi yang
terjadi di Istana. Telah terjadi dehumanisasi, istana
lebih hidup dari sebelumnya. Interaksi Gus Dur dengan orang
dilingkungan Istana sangat cair. Tidak nampak hubungan patron klien,
tapi yang menonjol adalah egaliterisme Gus Dur. Wimar Witoelar, salah
satu jubir kepresidena menggap hubungannya selama ini dengan Gus Dur
lebih seperti seorang teman. Jauh dari kesan formal dan kaku. Juru
bicara yang lainnya, Yahya Staquf merasa selama bekerja dengan Gus
Dur seperti ngaji.
Bahkan sebagai jubir tidak pernah ada briefing ataupun rapat terkait
kewenangannya sebagai Jubir. Selam di Istana Gus Dur juga membiasakan
pola hubungan yang cair. Kepada paspampres ataupun staff protokol
lainnya mengalami sentuhan humanisme Gus Dur. Mereka dibiasakan untuk
ngobrol santai bahkan bercanda.
Namun
demikian sebagai komunikator politik, tentunya ada pesan politik yang
hendak disampaikan dalam setiap tindakannya, termasuk soal
desakralisasi istana. Istana dipergunakan Gus Dur sebagai media
politik untuk menyampaikan pesan politiknya. Terlepas
itu kemudian dianggap desakralisasi, yang jelas Gus Dur telah
melakukan reinterpretasi terhadap pemaknaan istana. Gus Dur telah
melakukan reduksi terhadap sakralitas Istana. Melalui gaya dan
tindakannya yang cenderung mengabaikan aturan, Gus Dur telah
menggeser sakralitas Istana yang selama ini dikonstruksikan oleh orde
baru dalam konsep jawa. Disengaja ataupun tidak, proyek
desakralisasi Istana yang dipraktikan Gus Dur telah mampu mengubah
wajah Istana. Istana menjadi lebih humanis, dekat dengan rakyat, jauh
dari kesan angker dan sakral. Dengan demikian efek politik yang
dikehendaki Gus Dur melalui tindakan dan kebijakannya sebagai bagian
dari pesan politiknya sangat berhasil. Sebagai bagian dari khalayak
penerima pesan, sejumlah informan mengakui baik eksplisit maupun
implisit telah terjadi proses desakralisasi istana selama
kepemimpinan Gus Dur.
0 komentar:
Posting Komentar